HUKUMAN MATI DARI SUDUT ETIS DAN ALKITAB
Oleh: Awis
Pendahuluan
Hukuman mati ialah hukuman yang diputuskan oleh pihak mahkamah membabitkan pesalah dibunuh sebagai balasan jenayahnya, sama ada secara pancung, tembak, gantung, suntikan maut dan
sebagainya.
Hukuman mati mempunyai sejarah yang lama dalam
masyarakat manusia, dan pernah berlaku di hampir semua masyarakat. Biasanya, hukuman mati itu
dilaksanakan demi menegakkan keadilan di dalam masyarakat. Tetapi dari segi
ketenteraan, hukuman mati adalah satu cara untuk mengawal disiplin tentera. Contohnya, askar yang enggan bertempur atau lari daripada tugasan boleh
dihukum mati. Tindakan ini adalah supaya tiada askar yang enggan bertempur
kerana takut. Selain itu, hukuman mati juga merupakan satu cara untuk
mengadakan kawalan sosial. Di negara yang autokratik, mereka yang mempunyai perbezaan pendapat dengan kerajaan mungkin akan
dihukum mati. Contohnya di negara komunis, seseorang itu akan dibunuh sekiranya ia dianggap "anti-revolusi" ataupun
pemikirannya itu "berbahaya kepada masyarakat".
Cara melaksanakan hukuman mati sebenarnya
mengalami banyak perubahan. Pada masa sekarang hukuman mati biasanya
dilaksanakan dengan kesakitan yang minimum. Cara yang melibatkan perdarahan dan mengambil masa yang lama biasanya tidak digunakan. Ini adalah
kerana hukuman mati bermaksud menamatkan nyawa seorang penjenayah, dan tidak
bermaksud menyeksanya.
Di negara yang bertamadun, hukuman mati adalah
satu pendekatan untuk menghapuskan jenayah. Biasanya hukuman ini hanya
dikenakan kepada penjenayah berat sahaja. Contoh bagi jenayah yang membawa
kepada hukuman mati adalah seperti berikut:
· Membunuh
Kebanyakan negara akan mengenakan hukuman mati kepada mereka yang
membunuh secara segaja. Ini adalah berdasarkan prinsip pembalasan: "hutang
harta dibayar harta; hutang darah dibayar darah".
· Penyeludupan dadah
Di negara Asia seperti Malaysia, Singapura, dan juga China, sesiapa yang melakukan penyeludupan dadah boleh dikenakan hukuman mati. Ini adalah berdasarkan bahawa dadah
memberi kesan yang mahaburuk kepada masyarakat.
· Penjual-belian manusia
· Penjual-belian manusia
Di negara China, penjual-belian manusia adalah satu jenayah yang membawa
hukuman mati.
· Jenayah seks/rogol
· Jenayah seks/rogol
Di negara Islam, penjenayah seks boleh dikenakan hukuman mati. Keadaan yang sama juga
berlaku di Vietnam yang mengenakan hukuman mati terhadap pesalah yang merogol kanak-kanak.
· Jenayah-jenayah lain
Menderhaka, menculik, penyalahgunaan senjata api, malah rasuah adalah antara kesalahan yang dikenakan hukuman mati di beberapa
negara.[1]
..
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
A. Hukuman Pancung
Hukuman dengan cara potong kepala.
B. Hukuman Renjatan Letrik
Hukuman dengan cara duduk di kerusi yang kemudian dialiri kuasa letrik
bertenaga tinggi.
C. Hukuman Gantung
Hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
D. Hukuman Gantung
Hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh.
E. Hukuman Tembak
Hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini
terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
F. Hukuman Rejam
Hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.[2]
Menurut Wikipedia edisi bahasa Indoensia,
dijelaskan beberapa kategori hukuman mati dan dilakukan menurut negara
tertentu.[3] Saya memetiknya sebagai rujukan tambahan yang berhubung dengan
hal-hal hukuman mati. Berikut adalah kategori yang dimaksudkan:-
Guillotine
Guillotine adalah sebuah alat untuk membunuh seseorang yang telah divonis hukuman mati dengan cepat dan 'manusiawi'.
Guillotine menjadi terkenal pada Revolusi Perancis, tetapi sebenarnya sebelumnya sudah ada alat seperti ini. Guillotine
dinamakan menurut Joseph Ignace Guillotin (1738 - 1814), yang menyarankan supaya memakai alat ini sebagai alat eksekusi. Ironisnya ia sendiri sebenarnya tidak setuju dengan hukuman mati. Ia berharap
bahwa alat'nya' akan menghapuskan hukuman mati.
Pada Revolusi Perancis, dibutuhkan sebuah alat
yang mampu mengeksusi para terdakwa secara cepat. Guillotine ini mencukupi
persyaratan ini, maka di setiap desa di Perancis di tengah pasar lalu
ditempatkan.
Pada tanggal 25 April 1792, Nicolas Jacques Pelletier adalah korban pertama guillotine. Secara total pada Revolusi Perancis puluhan ribu
orang dieksekusi menggunakan alat. Di Paris sendiri saja diperkirakan 40.000 orang dibunuh dengan guillotine,
antara lain Raja Louis XVI dan istrinya Marie Antoinette.
Guillotine dirancang untuk membuat sebuah eksekusi
semanusiawi mungkin dengan menghalangi sakit sebanyak mungkin. Terdakwa
disuruh tidur tengkurap dan leher ditaruh di antara dua balok kayu di mana
di tengah ada lubang tempat jatuhnya pisau. Pada ketinggian 7 meter, pisau dijatuhkan oleh algojo dan kepala terdakwa jatuh di sebuah keranjang di depannya.
Pemenggalan kepala dengan guillotine hanya
berlangsung beberapa detik saja. Pendapat para dokter pada awal yang katanya
orang baru kehilangan kesadarannya setelah 30 detik dihiraukan. Menurut pendapat para dokter modern, otak seseorang
maksimal hanya bisa sadar selama 10 detik saja.
Eksekusi dengan guillotine kala itu menjadi
tontonan umum, tetapi kemudian guillotine ditaruh di dalam penjara karena
dianggap kejam. Terdakwa terakhir yang dihukum mati dengan alat ini adalah
Hamida Djandoubi. Ia dieksekusi di Marseille pada tanggal 10 September 1977.
Hukuman gantung
Hukuman gantung adalah menggantung seseorang dengan menggunakan tali gantungan ("simpulan hukum gantung") yang dibelitkan di
sekitar leher yang mengakibatkan kematian. Cara ini telah digunakan sepanjang sejarah sebagai suatu bentuk hukuman mati, pertama kali diterapkan di kerajaan Persia kurang lebih 2500 tahun yang lalu.[1], dan sampai saat ini masih digunakan di beberapa negara. Cara ini juga
merupakan suatu cara yang umum dipergunakan untuk bunuh diri.
Hukuman mati
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari
data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat
negara: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Hukuman pukulan rotan
Undang-undang mengenai pukulan rotan
Jumlah pukulan rotan terbanyak yang bisa dikenakan
kepada seorang terdakwa menurut undang-undang Malaysia ialah 24 kali pukulan
rotan. Terdapat dua jenis rotan yang digunakan:
· Rotan jenis tipis, yang digunakan untuk kasus sogok-menyogok, kesalahan
korupsi, dan kriminalitas kerah putih;
- Rotan jenis tebal, yang digunakan untuk tindak kejahatan serius, umpamanya kasus perkosaan dan kejahatan seksual.
Rotan jenis tipis tidak begitu merusakkan badan,
tetapi lebih menyakitkan. Pukulan rotan dengan rotan tebal yang melebihi
lima kali bisa mengakibatkan impotensi dan mati rasa dari punggung ke bawah, dimana hal tersebut sukar disembuhkan. Oleh karena sakitnya
pukulan rotan yang begitu dahsyat, undang-undang Malaysia telah memberi
pengecualian pada kategori-kategori di bawah terhindar dari hukuman
tersebut:
· Perempuan, karena pukulan rotan bisa mengganggu kesehatan kandungan;
· Lelaki berumur 50 tahun keatas;
· Orang yang disahkan tidak sehat oleh dokter; dan
· Orang gila
Aturan hukum pukulan rotan (Merotan)
Pada hari hukuman merotan dilaksanakan, para
terhukum yang terlibat akan memperoleh pemeriksaan kesehatan. Mereka akan berbaris dalam sebuah barisan untuk giliran masing-masing di
tempat yang mana lokasi pelaksanaan hukuman merotan tidak bisa terlihat oleh
mereka.
Pejabat Penjara Negeri Johor akan menyaksikan pelaksanaan merotan, bersama-sama dengan
seorang dokter dari Rumahsakit Sultanah Aminah dan seorang pegawai penjara. Pemeriksaan teliti lalu diambil supaya
hukuman merotan tidak dijatuhkan kepada orang yang salah.
Petugas penjara akan membacakan hukuman kepada
terhukum, dan memintanya mengesahkan adakah hukuman yang terbaca itu betul
atau tidak. Ia juga akan menanyakan terhukum tersebut apakah pembelaan telah dibuat. Jika belum, hukuman merotan akan ditangguhkan sehingga
keputusan pembelaan dinyatakan.
Terdakwa masih dalam keadaan telanjang selepas
pemeriksaan kesehatan, kecuali sehelai penutup yang diikatkan di pinggang.
Sewaktu dirotan, tangan dan punggungnya diikat kepada suatu rangka berbentuk
"A". Kepalanya diletakkan dibawah sebatang kayu melintang supaya badannya
membungkuk.
Algojo yang melaksanakan hukuman merotan haruslah
kompeten dan disahkan melalui ujian/tes oleh pengadilan. Saat ini, mereka
akan dibayar RM10.00 (atau sekitar 26 ribu rupiah menurut kurs sekarang)
untuk setiap rotan, yang mana sebelumnya untuk tugas ini algojo dibayar
RM1.00, atau sekitar duaribu enam ratus rupiah per satu rotan).
Dalam pelaksanaan tugasnya, algojo harus diberi
waktu yang cukup. Pegawai penjara yang bertugas menghitung jumlah pukulan
rotan tidak boleh menentukan waktu untuk pukulan rotan selanjutnya. Tugasnya
cuma memastikan terhukum tidak dikenakan rotan yang melebihi atau kurang
daripada apa yang ditetapkan oleh pengadilan.
Algojo akan memulai pelaksanaan hukuman dengan
memegang rotan secara mendatar diatas kepalanya. Lokasi tempat pelaksanaan
hukuman harus dalam keadaan tenang dan sunyi. Apabila algojo telah siap,
maka ia akan melepaskan tangan kirinya dan mengayunkan rotan kearah punggung
terpidana dengan sekuatnya, seperti pemain golf mengayunkan pemukul. Untuk mencapai akibat yang paling dahsyat,
algojo perlu memastikan bahawa ujung rotan digunakan untuk memukul
terhukum.
Rotan yang direndam dengan cairan "Pemutih Clorox" untuk membunuh kuman, juga akan meningkatkan kesakitan terhukum. Kulit punggung akan
lebam/memar bila dirotan satu kali. Dan jika pukulan rotan lebih dari lima
kali dikenakan, kulit punggung terpidana akan terkelupas robek dan mulai
berdarah.
Semua hukuman merotan harus dijalankan dalam satu kesempatan. Sekiranya
terhukum pingsan, atau dokter memerintahkan agar pelaksanaan hukuman
dihentikan karena terdakwa tidak bisa melanjutkan hukuman nya saat itu (jika
terlalu berbahaya bagi terpidana dan dapat menyebabkan kematian),
pelaksanaan hukuman rotan akan dihentikan. Sebuah permohonan akan dibuat
kemudian pada pengadilan supaya sisa hukuman rotan digantikan dengan hukuman kurungan. Biasanya, setiap rotan disamakan dengan lima atau enam bulan
pengurungan.
Rotan yang sudah dipakai bisa digunakan kembali.
Walaupun demikian, tindakan pencegahan perlu diambil untuk terpidana yang
mengidap HIV/AIDS. Rotan yang baru akan digunakan untuk kasus tersebut, dan selesai
digunakan, rotan itu akan dibakar. Algojo juga dikehendaki memakai alat perlindungan, sarung tangan dan topeng
kaca penutup mata, ditakutkan daging dan darah terpidana yang menderita HIV/AIDS akan mengenai tubuh algojo.
Selesai dirotan, terpidana akan diantarkan
ke klinik penjara untuk mendapatkan perawatan. Terhukum akan dirumahsakitkan sehingga
luka-lukanya sembuh, tergantung pada ketersediaan tempat tidur di klinik
penjara. Sementara waktu, terhukum terpaksa berbaring dengan bagian perut
menghadapi kasur, karena punggung yang telah cedera.
Iron maiden (alat)
Iron maiden adalah alat penyiksa terbuat dari besi berbentuk tabung dengan engsel didepannya, ukurannya cukup untuk
manusia. Biasanya memiliki semacam jendela kecil yang dapat ditutup
sehingga penyiksa bisa menginterogasi si korban, menyiksa atau membunuh seseorang dengan menembuskan benda tajam
(seperti pisau, duri atau paku) ke tubuhnya dan korban dipaksa untuk tetap
berdiri. Sang terhukum akan kehilangan darah secara cepat dan perlahan-lahan melemah, akhirnya akan kehilangan
darah atau kemungkinan sesak nafas.
Memancung
Memancung adalah tindakan memisahkan kepala dari badan manusia atau binatang. Biasanya dilakukan dengan kapak, pedang, maupun guillotine. Kata lain dari memancung adalah memenggal dan
seseorang yang mengeksekusi disebut Pemancung/ Pemenggal.
Kalimat memancung bisa merujuk
kepada sebuah acara/ upacara tertentu, untuk memisahkan kepala dari badan
yang telah mati. Pemenggalan kepala ini biasanya untuk sebuah piala, sebuah peringatan, untuk menghilangkan identitas korban, krionik dan alasan lainnya. Pemenggalan leher sangat fatal akibatnya, dalam
hitungan detik ke menit ketika terjadi adanya kematian pada otak tanpa
sokongan salah satu anggota tubuh.
Menguliti
Menguliti adalah sebuah aktivitas mengangkat sebuah kulit dan biasa dilakukan dengan sebuah pisau. Proses ini biasa dilakukan terhadap binatang yang telah mati, sebagai salah satu persiapan untuk
mengkonsumsi daging dan kulitnya digunakan untuk keperluan lain.
Menguliti bisa juga dilakukan terhadap manusia hidup sebagai salah satu bentuk hukuman. Ketika pengangkatan sebuah
kulit terjadi terhadap seseorang, teramat sangat menyakitkan, ini adalah
sebuah metode brutal dari sebuah eksekusi.
Etimologi
Menguliti berasal dari sebuah kata benda
yaitu kulit. Banyak makna dari
kata menguliti ini, di antaranya adalah:
· Membeset (membuang, mengambil),
· Memberi kulit; membalut (menyampul) dengan kulit.
Hukuman menguliti zaman dahulu - Assyria
Bangsa Assyria telah mempraktekkan hukuman menguliti terhadap tawanannya. Setelah
dikuliti, korban lalu dibakar hidup-hidup. Kulit kemudian digantung di pintu
gerbang kota, dengan maksud mendapatkan penghormatan dari bangsa Israel.
Penjara
Penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai
macam kebebasan. Penjara umumnya adalah institusi yang diatur pemerintah dan merupakan
bagian dari sistem pengadilan kriminal suatu negara, atau sebagai fasilitas untuk menahan tahanan perang.
Jumlah tahanan penjara di dunia
Lebih dari 9 juta orang dipenjara di seluruh dunia
saat ini. Populasi tahanan penjara di kebanyakan negara meningkat dengan
tajam pada awal tahun 1900-an. Jumlah tahanan Amerika Serikat adalah yang terbanyak berdasarkan negara, melebihi 2 juta jiwa;
70%-nya merupakan tahanan dengan kasus narkoba. Di Rwanda, hingga tahun 2002, lebih dari 100.000 orang ditahan dengan kecurigaan mengenai keikut
sertaan mereka dalam genosida yang terjadi pada tahun 1994.
Rusia dan Republik Rakyat Cina (dengan populasi 5 kali lebih besar dari AS) juga mempunyai jumlah
tahanan melebihi 1 juta pada tahun 2002. Tidak ada data yang tersedia
untuk Korea Utara. Britania mempunyai 73.000 tahanan pada 2003, mirip dengan jumlah yang dimiliki Jerman dan Prancis.
Penyaliban
Penyaliban merupakan salah satu bentuk eksekusi yang terkejam yang pernah ada di dunia. Esensi dari penyaliban
bukanlah kematian itu sendiri, melainkan penderitaan saat menjelang
kematian. Dengan demikian, kematian merupakan suatu hal yang sangat
diinginkan oleh orang yang disalib.
Berbeda dengan cara eksekusi terpidana mati pada
masa sekarang, proses penyaliban memerlukan waktu yang relatif lama sehingga
saat-saat penderitaanpun terasa sangat berat. Bandingkan hukuman gantung, kursi listrik, suntikan mati, kamar gas, tembak mati, pancung, dsb. yang hanya membutuhkan waktu beberapa detik
saja menjelang kematian dengan penyaliban yang kadang-kadang membutuhkan
waktu berjam-jam.
Kebudayaan menyalib
Penyaliban adalah salah satu bentuk hukuman yang
diterapkan dalam Kekaisaran Romawi, dan orang yang paling terkenal karena hukuman salib oleh pemerintah
Romawi adalah Yesus. Pada zaman Yesus para pemberontak dan pelaku kriminal dihukum dengan cara disalib.
Tata cara penyaliban
Kedua tangan mereka biasa diikat dan kaki mereka
diberi pijakan kayu dan mereka dijemur panas matahari dan menjadi tontonan
orang-orang sebagai peringatan. Namun penyaliban Yesus seringkali dilukiskan
kedua tangan dan kedua kaki Yesus dipakukan, yang menyebabkan Yesus
kehilangan banyak darah ditambah dengan dijemur matahari.
Pandangan Orang Yahudi atas penyaliban
Selain itu dalam adat istiadat Yahudi, ada
tertulis bahwa terkutuklah orang yang digantung di atas pohon (kayu atau
balok kayu), sehingga hingga saat ini banyak orang Yahudi yang menganggap Yesus mati secara terkutuk.
Pandangan Kristen atas penyaliban
Dalam agama Kristen Yesus disalib untuk
menebus dosa manusia, melalui Dia yang disalib, manusia yang berdosa digantikan
atau ditebus dari penghukuman, sehingga semua dosa yang telah dilakukan
digantikan melalui pengorbanan-Nya.
Rajam
Rajam adalah hukuman melempari penzina dengan batu sampai mati dan yang
berhak menjatuhkan hukuman rajam itu adalah pengadilan tinggi suatu negara
yang menganut hukum agama Islam. Prosesi rajam dengan cara, para penzina ditanam berdiri di dalam tanah
sampai dadanya, lalu dilempari batu hingga mati.
Hukuman rajam modern
Beberapa negara yang mengamalkan hukuman rajam sampai mati adalah:
1. Iran
2. Arab Saudi
3. Sudan
4. Pakistan
5. Beberapa bagian Nigeria
6. Afganistan semasa pemerintahan Taliban.
Suntik mati
Suntik mati adalah suatu tindakan menyuntikkan racun berdosis tinggi pada seseorang untuk menyebabkan kematian. Penggunaan utamanya adalah untuk eutanasia, bunuh diri, dan hukuman mati. Sebagai metode hukuman mati, suntik mati mulai mendapat popularitas
pada abad ke-20 untuk menggantikan metode lain seperti kursi listrik, hukuman gantung, hukuman tembak, kamar gas, atau hukuman pancung yang dianggap lebih tidak berperikemanusiaan, walaupun masih terus
diperdebatkan sisi kemanusiaannya. Pada eutanasia, suntik mati juga telah
dipergunakan untuk memfasilitasi kematian sukarela pada pasien-pasien
dengan kondisi terminal atau sakit kronis. Kedua penerapan ini menggunakan
kombinasi obat yang serupa.[4]
Jika kita melihat daripada kepada keseluruhan
maksud hukuman mati sehingga kepada kategorinya dan pelaksanaannya, maka
muncul sebuah pertanyaan, “Adakah Hukuman Mati Ini Masih Relevan?”, menurut Ahmad Ibrahim (Penolong Profesor Kulliyyah Undang-Undang, Universiti Islam
Antarabangsa Malaysia-UIAM), sebagaimana tulisannya yang dipetik dalam artikel Berita Harian
online,[5]
ADAKAH Malaysia harus mengekalkan hukuman mati?
Mungkin ada yang menganggap ini soalan klise kerana perdebatan mengenai
hukuman mati sudah lama berlangsung dan banyak pendapat yang
diketengahkan.
Namun hakikatnya perdebatan ini tidak akan berakhir atas beberapa alasan tertentu. Alasan utama, termasuk tuntutan prinsip yang diketengahkan menerusi hujah hak asasi.
Pihak yang memperjuangkan hak asasi menganggap
hukuman mati sebagai satu penganiayaan dan ia adalah hukuman yang tidak
berperikemanusiaan. Mereka juga menganggap hukuman mati adalah satu bentuk
pembunuhan diiktiraf undang-undang yang juga bersifat kejam. Pada pandangan
kelompok ini hanya Tuhan saja yang berhak mengambil nyawa seseorang, bukan
seorang manusia yang lain.
Ada juga yang berhujah bahawa seorang hakim
mungkin melakukan kesilapan di dalam membuat keputusan menghukum dengan
hukuman mati. Lantas, dihujahkan bahawa sekiranya seseorang itu dihukum
mati, maka peluang untuk memberi remedi kepada kesilapan itu sudah tidak ada
lagi.
Namun, dengan bersandarkan alasan tersendiri, ramai masih menyokong pengekalan atau kewujudan hukuman mati. Hujah yang dikemukakan ialah, antara lain bagi mengenakan balasan ke atas perlakuan salah yang dilakukan pesalah. Penjenayah itu perlu dihukum atas perbuatannya yang menyalahi aturan sistem kemasyarakatan.
Selain itu, hak mangsa jenayah hendaklah sentiasa diutamakan daripada hak penjenayah. Dalam kata lain, pendekatan yang perlu diberi perhatian ialah dengan memberi perhatian kepada hak mangsa jenayah dan bukan semata-mata hak pesalah seperti pendekatan yang diambil oleh pihak yang menolak hukuman mati.
Dalam konsep undang-undang jenayah, kedudukan mangsa di dalam sesuatu perbuatan jenayah hendaklah sentiasa diambil perhatian dalam menentukan kadar atau bentuk hukuman yang ditentukan mahkamah. Saya lebih cenderung kepada pandangan ini.
Perlu diingat bahawa apa jua hukuman dikenakan ke atas seorang pesalah ia sudah melalui proses perbicaraan dan proses pembuktian di mahkamah. Mahkamah mempunyai prosedur dan sistem keterangan yang tertentu. Proses ini seharusnya mengambil kira semua aspek berkaitan kesalahan yang didakwa. Selepas menjalani proses ini, mahkamah akan membuat keputusan berkaitan hukuman.
Dalam menentukan jenis dan tahap hukuman, mahkamah semestinya mengambil kira kepentingan individu mangsa jenayah dan darjah kekerasan yang dilakukan penjenayah ketika melakukan perbuatan jenayah itu.
Dalam banyak kes di Malaysia, mahkamah juga perlu mengambil perhatian kepada kesan perlakuan jenayah yang dilakukan ke atas masyarakat keseluruhannya, umpamanya dalam kes yang membabitkan pengedaran dadah.
Sekiranya dikatakan seseorang hakim itu tersilap dalam menghukum seseorang masalah ini sepatutnya boleh diatasi dengan membuat perubahan yang perlu ke atas perkara berkaitan pembuktian, seperti tahap dan jenis pembuktian.
Umpamanya dalam menentukan tahap pembuktian, seorang hakim hendaklah benar-benar yakin, tanpa sebarang elemen keraguan bahawa tertuduh, melalui bukti yang dikemukakan adalah bersalah. Keyakinan itu bukanlah sekadar melangkaui keraguan munasabah (beyond any reasonable doubt), tetapi seharusnya mencapai suatu tahap tanpa sebarang keraguan (beyond any shadow of doubt).
Tahap pembuktian yang tinggi ini secara langsung dapat membantu hakim daripada melakukan kesilapan di dalam menentukan tahap dan sifat hukuman yang dikenakan.
Walaupun ada banyak negara di dunia yang menolak atau menghapuskan hukuman mati, ia tidak semestinya menjadi ikatan atau ikutan ke atas Malaysia. Negara ini tidak perlu meniru atau mengikut saja tindakan atau pendekatan negara berkenaan. Malaysia adalah negara merdeka dan berdaulat. Malaysia mempunyai prinsip berkaitan perundangan yang tersendiri. Selepas lebih 50 tahun mencapai kemerdekaan, Malaysia sudah berjaya sedikit sebanyak membentuk jati diri berkaitan aspek perundangan negara. Umpamanya, Malaysia berjaya menghapuskan rayuan ke Majlis Privy dan perbicaraan sistem juri. Oleh itu, Malaysia seharusnya yakin dengan sistem yang ada dan diamalkan selama ini.
Sekiranya Malaysia perlukan perubahan berkaitan hukuman mati, ia mestilah berdasarkan kehendak masyarakat dan falsafah perundangan yang diamal di negara ini. Sebolehnya perubahan itu harus bebas daripada kontroversi yang berpanjangan.
Walaupun banyak negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati, keperluan untuk mengamalkan hukuman mati tetap menjadi isu. Ramai rakyat di negara berkenaan yang masih lagi menyokong hukuman mati, terutama ke atas perlakuan keganasan yang melampau atau kejam dan juga jenayah kejam yang membabitkan kanak-kanak atau warga tua sebagai mangsa.
Malaysia juga akan menempuh masalah sama sekiranya hukuman mati dihapuskan sepenuhnya. Kita juga tahu dalam banyak kes ketika masyarakat Malaysia mahukan hukuman mati ke atas perogol, terutama yang menjadikan kanak-kanak sebagai mangsa atau penjenayah yang menggunakan kekerasan atau senjata api.
Walaupun menyokong pengekalan hukuman mati bagi kesalahan berat di negara ini, hukuman mati tidak semestinya menjadi pilihan utama. Mungkin juga hukuman mati mandatori bagi sesetengah kesalahan perlu dianalisis kembali. Hukuman mati mandatori tidak memberi ruang kepada mahkamah untuk memilih tahap dan jenis hukuman selepas memberi perhatian yang sewajarnya kepada keadaan pesalah dan juga keadaan semasa kesalahan terbabit dilakukan.
Selain itu, tahap pembuktian yang tinggi
harus menjadi pokok perbincangan untuk meneruskan hukuman mati di negara
ini. Dalam kata lain, sistem perbicaraan dan undang-undang keterangan di
mahkamah juga perlu diberikan perhatian yang sewajarnya. Ini bagi memastikan
hukuman mati yang dikenakan adalah hukuman yang wajar dan tidak dilihat
sebagai satu pencabulan ke atas hak asasi seorang pesalah.[6]
Definisi dan Tanggapan Hukuman Mati Melalui Perspektif Etika
Sebagai persoalan etis, perkara hukuman mati juga
menimbulkan perdebatan yang sangat luas. Lebih-lebih lagi apabila hukuman
mati itu berkaitan dengan hak hidup seseorang. Apakah legitimasi hukum boleh
dijadikan ukuran moral untuk menghilangkan nyawa seseorang? [7]
Ada pelbagai pandangan mengenai hukuman mati.
kepelbagaian ini pun tidak lari dari pro dan kontra berhubung pelaksanaan
hukuman mati sehingga tidak ada definisi baku yang dapat dijadikan sebagai
ukuran tepat bagi menjelaskan hukuman mati. Menurut Robert Johnson hukuman
mati adalah hukuman berupa kematian sebagai akibat atas pelanggaran terhadap
hukum. Sehubungan dengan itu, Robert G. Caldwell memahami hukuman mati
sebagai ganjaran berupa kematian terhadap orang-orang yang telah terbukti
secara sah melakukan tindakan kejahatan. Dari sudat pandang yang lain iaitu
dari segi fungsional, Nayla Widarma memahami hukuman mati sebagai hukuman
yang ditujukan untuk menakuti masyarakat supaya tidak melakukan jenayah.[8]
Dari beberapa pandangan yang dirujuk di atas,
terlihat adanya sebuah hakikat yang melekat pada hukuman mati itu sendiri
iaitu hukuman mati sebagai sebuah ganjaran. Ganjaran itu kemudian
mengakibatkan pada kehilangan nyawa dari pelaku kejahatan yang telah
terbukti bersalah dalam sebuah proses hukuman yang sah. Jadi, hukuman mati
dari sudut perspektif etika yang pertama adalah, hukuamn ini dilakukan
bertujuan untuk menakutkan masyarakat dan jalan memperbaiki tindakan
sosial.
Hukuman Mati sebagai Dilema Etis
Selayaknya perkara-perkara lain, khususnya yang
melibatkan hak-hak asasi manusia, praktik hukuman mati juga menimbulkan
perdebatan yang tidak hujung pangkalnya. Kes ini memetakan manusia ke dalam
beberapa argumen etis yang cukup dilema. Secara umum, kelompok-kelompok yang
sering berbeza pendapat dan pandangan mengenai pelaksanaan hukuman mati
dikelompokkan sebagai berikut:
A. Retribusionisme
Pengikut gerakan ini sangat bersetuju bahawa
hukuman mati harus dilaksanakan. Dalam pandangan mereka, seseorang yang
melakukan kejahatan adalah pelaku dosa sehingga selayaknya dihukum. Para
retribusionis dengan tegas menolak cara meringankan hukuman seseorang yang
terlibat, contohnya hanya dimasukkan dalam penjara. Penjara menurut mereka
bukanlah tempat yang sesuai untuk pelaku kejahatan berat. Penjara tidak akan
memberikan kesan penyesalan kepada si pelaku. Selain itu, pengikut
retribusionis menilai bahawa para pelaku kejahatan bukanlah orang sakit
sehingga mereka tidak perlu disembuhkan. Para pelaku kejahatan adalah
orang-orang yang sedar melakukan tindakan kejahatan dan layak untuk dihukum
seberat-beratnya.
Dalam model etika yang dikembangkan oleh Kant, hal
ini dikenal sebagai ‘kewajiban kategoris’. Membiarkan kejahatan tanpa
hukuman merupakan pengkhianatan terhadap jiwa yang otonom.[9] Dengan konsep seperti ini, kaum Retribusionis melihat hukuman mati
sebagai sebuah cara untuk memberi kesan mendalam terhadap orang-orang yang
berniat atau sedang merancang melakukan tindakan kejahatan.
B. Rekonstruksionisme
Para rekonstruksionis beranggapan bahawa akibat
dari sebuah kejahatan besar adalah hukuman mati. Prinsip yang digunakan
dalam pandangan ini adalah lex talionis di mana kejahatan
harus dibalas dengan hukuman setimpal. Gigi ganti gigi dan mata ganti mata.
Dengan kata lain, ketika seseorang menghilangkan nyawa orang lain, maka
balasan yang setimpal adalah orang tersebut harus kehilangan nyawa. Dalam
hal ini aspek keadilan atau proporsionalistas sangat
diutamakan.[10]
C. Utilitaririanisme
Utilitarianisme membenarkan
hukuman yang didasarkan atas motivasi yang bercorak preventif. Aspek
penjeraan juga muncul dalam hal ini namun yang menjadi penekanan asas adalah
aspek preventif sebagai akibat logik dari sebuah penghukuman. Dengan
demikian, apapun tujuannya, apakah itu untuk penjeraan, reformasi,
rehabilitasi ataupun pendidikan moral, penghukuman harus bersifat preventif,
iaitu jangan sampai kejadian atau kejahatan serupa terulang kembali.[11] Dengan demikian, utilitarianisme tidak terlalu mempersoalkan aspek
‘ganjaran’ seperti yang difahami oleh teori retribusionisme, yang penting
bagi mereka adalah kejahatan tidak terulang kembali.
D. Rehabilitasionisme
Rehabilitasionisme menolak adanya praktik hukuman
mati walau dengan apa cara sekalipun. Dalam pandangan ini, aspek keadilan
tidak difahami dalam rangka proporsionaliti. Keadilan tidak difahami sebagai
usaha untuk melakukan pembalasan yang setimpal. Keadilan menurut pemahaman
rehabilisionisme adalah memberi kesempatan kepada pelaku kejahatan untuk
memperbaiki kesalahan mereka. Dengan demikian keadilan lebih diarahkan
sebagai usaha perbaikan daripada tindakan usaha penghukuman.[12]
Hal senada juga diungkapkan oleh
kaum Abolionis. Kaum abolionis menolak adanya praktik hukum mati
dengan alasan: pertama, secara psikologi aspek jera, seperti yang dikatakan kaum retribusionis,
tidak akan memberi kesan yang mendalam bagi masyarakat. Dengan demikian
mereka mengusulkan bahawa penjara seumur hidup akan lebih efektif untuk
menghasilkan kesan jera. Kedua, tidak ada yang berhak untuk mencabut nyawa seseorang, termasuk institusi
kenegaraan, ketiga, praktek hukuman mati bertentangan dengan hak dan kesucian hidup
seseorang.[13]
Jika dilihat secara sepintas lalu, maka
keputusan hukuman mati ini juga dibenarkan dalam Alkitab, hanya berbeza
dari perkara hukuman tersebut. Bagaimanapun Allah seringkali menyatakan
kemurahan tentang hal ini, contohnya Daud melakukan pembunuhan dan
perzinahan, Allah tidak menuntut agar ia dibunuh (2Sam.11:1-5; 14-17;
2Samuel 12:13). Kisah seorang wanita pelacur (Yohanes 8:7) dan banyak hal
sebenarnya yang harus Allah putuskan sebagai hukuman mati untuk manusia
(Roma 6:23). Kita sangat bersyukur kerana Allah menyatakan kasih-Nya
kepada manusia kerana tidak menghukum kita (Roma 5:8).
Mengapa Hukuman Mati Harus Ditolak?
Hukuman Mati bukanlah Kewajiban Moral
Seperti yang telah sentuh sebelumnya, dalil-dalil
utama dari kelompok-kelompok yang pro hukuman mati adalah alasan keadilan
dan kepentingan masyarakat. Prinsip ini jugalah yang umumnya menjiwai hukum
negara. Menjalankan keadilan dan melindungi kepentingan umum atau
kepentingan masyarakat sering dilihat sebagai kewajiban moral yang harus
dijalankan oleh sebuah negara. Termasuk dalam hal ini adalah legalistik
hukuman mati.
Jika merujuk pada sistem etika yang dikembangkan
oleh Kant, hukum dilihat sebagai sebuah prinsip objektif dan rasional
mengenai apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, terlepas dari perasaan
setuju ataupun tidak setuju, suka ataupun tidak suka, hukum adalah kewajiban
yang harus dijalankan.[14] Dengan pemahaman ini, sering muncul kesimpulan terburu-buru
dengan mengatakan bahawa dalam kacamata hukum pelaksanaan, hukuman mati
adalah kewajiban yang harus dijalankan. Pertanyaannya adalah, apakah menghilangkan nyawa seseorang dengan alasan legitimasi hukum dapat
dibenarkan secara moral? Bukankah dalam kacamata hukum melindungi nyawa seseorang adalah kewajiban
yang harus dilakukan? Jika prinsip prima facie-nya William Ross diikut
sertakan sebagai solusi, bukankah melindungi nyawa seseorang lebih tinggi
dari pada menghilangkan nyawa hanya karena alasan penjeraan?[15]
Jika saya melihat dari sudut pandang etika moral,
terlihat bahawa keputusan untuk menghukum mati seorang penjenayah bukanlah
sebuah kewajiban moral yang mutlak harus dijalankan. Keputusan itu boleh
saja dijadikan sebagai sebuah ‘kewajiban sementara’ untuk dibahaskan dengan
pertimbangan-pertimbangan etis yang lain hingga dihasilkan
keputusan-keputusan yang seboleh-bolehnya mungkin didasarkan atas
penghormatan bagi nilai-nilai kemanusiaan.
Dari pemaparan di atas, ada banyak pendapat
mengenai hukuman mati. Semuanya tergantung dari sisi mana kita menilainya.
Dari segi hukum, hukum mati merupakan proses pelaksanaan yang sah. Akan
tetapi, dalam sudut pandang falsafah, hukuman mati pun bukanlah kewajiban
moral yang secara mutlak harus diikuti. Alasan lain untuk menolak hukuman
mati adalah untuk mematahkan usaha kekejaman. Sementara itu, sekalipun
Alkitab memuat banyak praktik hukuman mati, theologi Kristian tetap menolak
adanya hukuman mati. Secara umum, alasan penolakan hukuman mati didasarkan
atas keyakinan bahawa nilai-nilai kemanusiaan terlalu berharga untuk
dilenyapkan dalam sekelip mata.
Apa Kata Alkitab Mengenai Hukuman Mati
Di dalam Alkitab beberapa perkara yang disentuh
berkaitan dengan perkara ini dan
Peraturan yang diputuskan adalah hukuman mati, antaranya adalah:-
a) Membunuh (Kel. 21:12)
b) Perbuatan Menculik (Keluaran 21:16
c) Hubungan seks dengan binatang (Keluaran 22:19)
d) Berzinah (Imamat 20:10)
e) Homoseksual (Imamat 20:13)
f) Menjadi nabi palsu (Ulangan 13:5)
g) Pelacuran dan pemerkosaan (Ulangan 22:4) [16]
Ketika orang-orang Farisi seorang wanita pelacur
kepada Yesus yang tertangkap basah sewaktu berzinah dan bertanya
kepada-Nya apakah wanita itu perlu direjam, Yesus menjawab "Barangsiapa di
antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu
kepada perempuan itu" (Yohanes 8:7). Ini tidak boleh difahami bahawa Yesus
menolak hukuman mati dalam segala hal. Yesus hanya mengungkapkan
kemunafikan orang-orang Farisi. Orang-orang Farisi ingin mengumpan Yesus
untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama, mereka sama sekali tidak peduli
dengan wanita yang akan direjam itu (di mana laki-laki yang tertangkap
basah dalam perzinahan?). Allah adalah yang menetapkan hukuman mati:
“Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh
manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”
(Kejadian 9:6). Yesus akan bersetuju hukuman mati dalam perkara-perkara
lain. Yesus juga menunjukkan anugerah ketika hukuman mati seharusnya
dijatuhkan (Yohanes 8:1-11). Rasul Paulus jelas mengakui kuasa dari
pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati ketika diperlukan (Roma
13:1-5).
Suatu pertanyaan dilontarkan, Adakah Alkitab membenarkan hukuman mat? Jawabannya ialah ‘Ya’, Allah mengizinkan hukuman mati. Namun pada saat yang sama Allah tidak selalunya menuntut hukuman mati. Kalau begitu bagaimana seharusnya pandangan orang Kristian terhadap hukuman mati? Pertama, kita mesti mengingat bahawa Allah telah menetapkan hukuman mati dalam firman-Nya, dan kerana itu adalah sombong bagi kita untuk menganggap bahawa kita dapat menetapkan ukuran yang lebih tinggi dari Dia atau dapat lebih murah hati dari Allah. Allah memiliki ukuran yang paling tinggi dari semua makhluk kerana Dia adalah sempurna adanya. Ukuran ini berlaku bukan hanya untuk kita namun juga untuk diri-Nya. Kerana itu Dia mengasihi secara tak terbatas, dan Dia memiliki belas kasihan yang tak terbatas. Kita juga melihat bahawa murka-Nya tanpa batas, dan semua ini terjaga dengan seimbang.
Kedua, kita harus mengenali bahawa Allah telah memberi kuasa kepada pemerintah dunia untuk menentukan bila seharusnya hukuman mati dijatuhkan (Kej.9:6, Rm.13:1-7). Adalah tidak Alkitabiah menuntut bahawa Allah menentang hukuman mati dalam segala hal. Orang Kristian tidak boleh bergembira ketika hukuman mati dilaksanakan, namun pada saat yang sama orang Kristian juga tidak seharusnya melawan hak pemerintah untuk menjatuhkan hukuman kepada para pelaku jenayah yang kejam.[17]
Kesimpulan
Daripada semua bahan dan fakta di atas, apa yang
saya dapat simpulkan adalah bahawa hukuman mati telah ada dan ditetapkan
oleh Allah sendiri (Kejadian 9:6). Sehingga tidak ada alasan untuk menolak
hukuman mati. Dalam sepanjang jalannya hukuman baik itu untuk orang yang
bersalah maupun sesungguhnya tidak melakukan kesalahan namun menerima
hukuman tersebut, segala sesuatunya tidak lepas dari izin Allah.
Allah telah memberi hak mutlak bagi pemerintah
untuk melakukan kewajibannya dan menegakkan keadilan dalam negara sebagai
soal-soal moral dan etika, namun kehendak Allah akan terus berjalan. Rasul
Paulus jelas mengakui kuasa dari pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati
ketika diperlukan (Roma 13:1-5).
Allah tidak pernah lali dan lari dari segala
tindak-tanduk manusia. Jika bagi orang sekuler, hukuman mati adalah kesan
jera, namun dalam Kekristianan itu merupakan perintah Allah dalam usaha-Nya
menunjukkan keadilan-Nya namun juga menunjukkan kasih-Nya.
Kedatangan Kristus dan pengorbanan-Nya menggenapi
hukum Taurat namun bukan bererti meniadakan hukum Taurat maupun hukuman mati
yang telah ditetapkan-Nya. Verkuyl mengatakan: “sebagimana hukuman mati
adalah tanda keadilan Allah yang menghukum, demikian pula kemungkinan grasi
(ampun) dan amnesti (maaf) adalah tanda kasih kurnia atau rahmat Tuhan.”[18]
[1] http://ms.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Metode_eksekusi
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Metode_eksekusi
[5]http://www.bharian.com.my/bharian/articles/Pelaksanaanhukumanmatimasihlagirelevan/Article/index_html
[6]http://www.bharian.com.my/bharian/articles/Plaksanaanhukmanmatimasihlagirelevan/Article/index_html
[7] Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta: Aksara Persada, 1985), hal. 60
[8] Samuel S. Saragih, Hukuman Mati dan Hak Hidup Manusia, (Jakarta: STT Jaffray, 2007), hal.16
[9] Lili Tjahjadi, Hukum Moral, (Jogjakarta
[10] Norman L. Geisler, Christian Ethics: Option an Issues, (Appolos: Leicester, 1990) hal. 199-200
[11] Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Mati Legal, (Jakarta: Gramedia, 1997), hal.33
[12] Norman L. Geisler, Op.cit hal. 194-195
[13] Yong Ohoitimur, Op.cit, hal. 91
[14] Lili Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrantasi Dengan Para Filsuf Dari
Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, (Jogjakarta: KANISIUS, 2004) hal.288
[15] Ibid, hal. 289
[16] William Barclay, The Daily Bible Study: The Gospel of John Volume II, (Scotland: The Saint Andrew Press, 1975), Hal. 3-4
[18] J. Verkuyl, Etika Kristen,-Ras, Bangsa, Gereja dan Negara, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992)
Comments
Post a Comment